“Nonpribumi” Tidak Berhak Memiliki Rumah di Indonesia?
Dua hari ini jagat maya ramai tentang bahasan “pribumi” yang awal mulanya tersebutkan dalam pidato Anies Baswedan seusai sertijab di Balai Kota DKI Jakarta.
Kutipannya sebagai berikut, “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.”
Sebagai bangsa yang pernah dijajah, kita pernah mengalami masa-masa diskriminasi oleh kolonialisme pada saat itu. Beberapa pelaku sejarah juga sempat menyebutkan bahwa di masa Orde Baru, terjadi lagi kecenderungan diskriminasi antara pribumi dan nonpribumi.
Konon penggunaan kata “pribumi” di negeri ini sudah dilarang dengan dibuatkannya aturan melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan, yang ditandatangani oleh Presiden RI ke-3 BJ Habibie.
Karena itu, ketika tempo hari Anies Baswedan menyitir kata “pribumi” dalam pidatonya, sebagian masyarakat menjadi ramai membicarakannya.
“Nonpribumi” sebagai lawan katanya, merujuk pada siapa saja yang bukan merupakan penduduk asli Nusantara. Di antara yang masuk kategori “nonpribumi” adalah mereka yang merupakan keturunan Cina, Arab, India, dan lain sebagainya yang berada di luar kepulauan Nusantara, meskipun pada kenyataannya beberapa generasi dari kalangan “nonpribumi” tersebut dilahirkan di Indonesia.
Rumit memang perpolitikan di negeri ini pada saat ini.
Namun, disadari atau tidak disadari, jika polemik ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok yang mempunyai tujuan mengacaukan negeri demi kepentingan sendiri, diskursus pribumi-nonpribumi ini bisa berimbas pada banyak hal. Salah satunya adalah berimbas dalam bidang bisnis dan ekonomi.

Bisa saja kemudian kalangan yang merasa nonpribumi menjadi enggan untuk membeli rumah dengan skema syariah tanpa bank yang sedang gaung saat ini, misalnya.
Padahal, Islam sangat terbuka dalam bermuamalah (jual beli), termasuk dalam bisnis properti. Sekalipun pengembangnya menggunakan skema syariah 100% tanpa melibatkan bank yang sangat memanjakan konsumen, sama sekali tidak menutup diri dari berjual beli dengan siapapun dan dari etnis manapun.
Lima cluster ekslusif di daerah Cirendeu Tangsel ini, misalnya, yang menerapkan skema KPR 100% syariah tanpa bank, bebas riba, tanpa bunga, tanpa denda, dan tanpa sita, unit-unit yang ready stock maupun inden di sana sangat terbuka untuk siapa saja yang berminat membeli tanpa melihat suku, agama, dan ras-nya.
Jadi, siapapun berhak untuk memiliki rumah di Indonesia tanpa.
Sudahlah, mari lupakan pahitnya masa lalu di mana penjajah menanamkan pikiran diskriminatif di antara kita. Toh katanya Anies Baswedan pun menggunakan kata “pribumi” tersebut dalam konteks membicarakan sejarah.
0 Comments