Mengagunkan Barang yang Dibeli, Bolehkah?
Ini merupakan salah satu tulisan yang dikeluarkan oleh komunitas Developer Properti Syariah (DPS) sebagai praktisi bisnis properti tanpa bank, yang dalam akadnya tidak menjadikan sertifikat rumah sebagai barang jaminan selama proses KPR berlangsung.
Salah satu jebakan atau permasalahan dalam transaksi properti adalah ketika pihak pembeli mengagunkan kembali barang yang dibeli kepada penjualnya untuk menjamin pelunasan utangnya. Praktiknya adalah penjual menahan sertifikat rumah; tidak diserahkan langsung kepada pembeli. Sertifikat tersebut ditahan sampai waktu tertentu, bahkan hingga pembeli melunasi utangnya sampai angsuran terakhir. Praktik ini lazim dilakukan dalam transaksi jual beli properti (tanah, rumah, ruko dan sejenisnya).
Bagaimana syariah memandang kasus semacam ini?

Jika kita perhatikan, setidaknya ada dua pendapat ulama mengenai hal ini. Yang pertama adalah pendapat yang membolehkan menjadikan barang yang diperjualbelikan sebagai agunan atas harganya. Sementara yang kedua adalah pendapat yang cenderung mengharamkan model transaksi seperti ini. Apapun itu keduanya merupakan ra’yul Islam, yakni pendapat Islami yang ada landasan dalil dan hujjahnya dalam Islam, sehingga perbedaan pandangan mengenai hukum syariah terkait hal ini terkategori ikhtilaf di kalangan ulama fiqh.
Perbedaan pandangan mengenai hukum syariah seputar menjadikan barang yang diperjualbelikan sebagai agunan atau jaminan atas harganya, terjadi pada pembahasan syarat dalam jual beli. Perbedaannya ada pada cara memahami keberadaan syarat; apakah syarat tersebut bertentangan dengan muqtadha aqad (konsekuensi akad) ataukah tidak.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi SAW bersabda, “Siapa yang mengajukan syarat, yang bertentangan dengan kitabullah maka syarat tersebut adalah batil.” (HR. Bukhari 2155 & Muslim 3852)
Jika kita lihat dari sababul wurud hadits ini, salah satu di antara bentuk syarat yang bertentangan syariah adalah syarat yang tidak sejalan dengan kitabullah atau konsekuensi akad.
Ketika seseorang membeli suatu barang dengan pembayaran bertempo (kredit), begitu akad jual belinya dilakukan, maka sempurnalah jual beli tersebut walaupun pembayarannya belum lunas. Konsekuensinya, harus terjadi perpindahan barang yang diperjualbelikan dari pihak penjual ke pihak pembeli, yang otomatis memunculkan utang bagi pihak pembeli jika pembayarannya bertempo (kredit) karena pembayarannya belum lunas. Oleh karena transaksi jual belinya telah sempurna, semestinya pihak pembeli berhak mentasharruf barang yang telah dibelinya tersebut dengan sesuka hatinya. Dia berhak memakainya, menyewakannya, menghadiahkannya bahkan menjualnya sekalipun. Karena barang tersebut sudah sah menjadi miliknya.
Namun, ketika pihak penjual mensyaratkan barang yang dibeli oleh pembeli tersebut sebagai agunan atau jaminan atas utangnya, di sinilah terjadi kerancuan. Syarat seperti ini cenderung bertentangan dengan konsekuensi akad sehingga syarat tersebut boleh diabaikan. Walaupun begitu, tidak mempengaruhi keabsahan jual belinya. Jadi, syaratnya saja yang batil sementara jual belinya dianggap tetap sah.
Mensyaratkan objek transaksi sebagai barang gadai untuk menjamin atas pembayarannya yang belum lunas, ini bertentangan dengan konsekuensi akad. Karena tidak terjadi perpindahan kepemilikan dengan sempurna dari penjual ke pembeli. Penjual masih menahan barang itu sebagai barang gadai untuk menjamin utang pihak pembeli kepadanya.
Pendapat ini merupakan pendapat al-Ghazali, salah satu pendapat Imam Syafii, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Ibnu Hajar al-Haitami –ulama Syafiiyah w. 974 H– dalam fatwanya menyatakan,
“Tidak sah jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli. Baik dia mensyaratkan agar digadaikan kepada penjual setelah diterima atau sebelum diterima.” (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, 2/287)
Sementara Ibnu Qudamah menyebutkan,
“Jika dua orang melakukan jual beli dengan syarat menjadikan barang yang dibeli sebagai jaminan atas harganya, maka tidak sah jual belinya. Ini pendapat Abu Hamid (al-Ghazali) dan pendapat as-Syafii. Karena ketika barang yang dibeli dijadikan jaminan, berarti barang itu belum menjadi milik pembeli. Baik dia mempersyaratkan diterima dulu kemudian digadaikan atau mempersyaratkan digadaikan sebelum diterima.” (Al-Mughni, 4/461)
Lantas, bagaimana mengatasi kekhawatiran pihak penjual jika barang yang dibeli tersebut dijual oleh pihak pembeli sementara pembayaran atas harganya belum lunas?
Syariah memiliki solusi praktis terkait permasalahan ini. Solusi yang tetap berpijak pada muamalah yang wajib sesuai hukum syariah tanpa harus mensyaratkan sesuatu yang justru menimbulkan masalah.
😉
0 Comments